HUKUM

Marley And Me

BELAJAR BUKU HUKUM

Marley And Me

DEWA MAHENDRA

Dewi Keadilan
Ya Allah Berilah Hamba Selalu Petunjuk dalam mengarungi Medan Juang Ini !! * Dewa Mahendra
Latest News

SELAMAT DATANG DI DEWA MAHENDRA CENTER

semoga info bermanfaat

Penegakan Hukum melalui Pendidikan Anti Korupsi Sejak Dini yang Berkesinambungan

Posted by Dewa Mahendra Center on Minggu, 07 Maret 2010 , under | komentar (0)





Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum ( Rechtstaat ), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka ( Machstaat ). Hal ini berarti Republik Indonesia merupaka negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung hak asasi manusia dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang sangat fenomenal dalam masyarakat adalah masalah korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak moral dan hak-hak sosial serta ekonomi masyarakat.
Di seluruh negara-negara masalah korupsi mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan masalah lain. Karena dampak dari tindak pidana ini akan menyentuh ke dalam masyarakat dan berbagai bidang kehidupan. Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi bahkan dianggap budaya dari pada berusaha keras untuk memberantasnya. Padahal tindak pidana korupsi ini adalah salah satu jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi , idiologi negara, moral negara, dan perekonomian, keuangan negara dan sebagainya yang merupakan perilaku kejahatan yang sulit di tanggulangi. Penanggulangan kasus tindak pidana korupsi terus dilakukan tetapi tidak banyak yang melakukan usaha tersebut dari hal yang terkecil namun berdampak besar, tetapi kebanyakan koruptor di pidana namun banyak di putusbebaskan dari tuntutan. Kejahatan yang berjuluk while collar crime ini sulit dilacak karena kejahatannya sudah begitu canggih.
Korupsi di indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas, baik dari kasus yang merugikan keuangan negara maupun tingkat kualitas yang dilakukan semakin sistematis dan lingkupnya memasuki seluruh aspek.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan hasil survei Transparency Intenational Indonesia ( TII ) menunjukkan bahwa Indonesia peringkat 111 posisi Indonesia ini naik dari posisi tahun 2008 yakni di peringkat 126.. (1. www.ti.co.id )
Dalam peringkat IPK tahun 2009, Indonesia berada pada posisi 5 untuk lingkungan ASEAN atau lebih rendah dibandingkan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand yang berturut-turut mengisi posisi 1-4. (http://korupsi.vivanews.com)
( Ntr ditambah data dari BPK )

Pada era reformasi selama sepuluh tahun terakhir tidak ada upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Ini merupaka hal yang sangat ironis, mengingat tujuan reformasi adalah pemberantasan KKN. Ini juga menunjukkan pemerintahan yang lebih demokratis tidak serius dalam memberantas korupsi.
Kegagalan elit politik indonesia melakukan upaya serius memberantas korupsi jelas membahayakan Negeri ini. Apalagi banyak di kalangan elit politik yang bertugas memberantas korupsi malah terlibat di dalamnya. Hal menunjukkan tidak adanya moral bersih yang anti korupsi pada pemerintahan. Jika hal itu terjadi berulang-ulang dan mewabah ke moral generasi penerus bangsa, maka akan semakin parah tindak pidana korupsi bahkan dikhawatirkan akan menjadi budaya di dalam bangsa Indonesia.
Pada Rezim orde lama yang otoriter dan korup telah melakukan proses feodalisasi hukum secara sistematis . hingga saat ini banyak perangkat hukum yang tidak bermuara pada keadilan dan melindungi masyarakat. Berarti hukum dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat yang korup. Dari Undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang pernah di juluki “undang-undang sapu jagat “ hingga Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan tindak pidana Korupsi tidak mampu meredam para koruptor untuk melakukan aksinya.(Evi hartanti : Tindak Pidana Korupsi :Penerbit Sinar Grafika,Jakarta, 2005, hal 3-4 ) Bahkan terus meningkat dan merajalela sampai ke desa-desa.
Budaya hukum elit penguasa tidak menghargai kedaulatan hukum tetapi lebih mementingkan status sosial koruptor dengan melihat kekuasaan politik atau kekuatan ekonominya.
Penegakan Hukum yang tidak diskriminatif akan mendapatkan hasil yang positif sakah satunya yaitu Memulihkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan memberikan pendidikan hukum untuk masyarakat (Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan penegakkan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001, hal 131). Sikap anak bangsa sebagai penerus elit politik dan pemerintah yang dilatarbelakangi perilaku-perilaku yang selalu tidak bersih dan tidak transparan akan cenderung mengikuti jejak-jejak para koruptor. Dan akan menjadi wabah koruptor baru di negeri ini. Maka penulis memandang perlunya pendidikan anti korupsi sejak dini yang berlandaskan sikap dan perilaku individu yang bersih, Jujur, transparan dan Professional

Bangga Menjadi Muslim

Posted by Dewa Mahendra Center on Kamis, 04 Maret 2010 , under | komentar (0)




04/18/2002 - Arsip Hikmah

"Dialah (Allah) yang telah menamakan kamu sekalian muslimin dari dulu dan didalam (Alquran) ini, supaya rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dialah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (Al-Hajj: 78).

Saat ini kebanyakan orang bangga dengan nama dan julukan serta gelar yang disandangnya, namun enggan menyandang julukan sebagai muslim. Hingga banyak di antara mereka yang enggan menyatakan dan menampakkan bahwa dirinya muslim. Sebagian lagi malah lebih parah, mereka banyak yang bangga mendapat julukan dan sebutan yang negatif dan buruk dan bangga akan keburukan dan kejahatan yang mereka lakukan. Sementara itu, yang muslim ada juga yang tidak puas dengan titel muslim saja, maka mereka menambahinya dengan embel-embel yang tak jelas juntrungnya. Seperti tambahan liberal, subtantif, moderat dan lain sebagainya. Tidak puas dengan diri sendiri, mereka juga menjuluki muslimin lain dengan bermacam-macam, seperti ekstrim, fundamentalis, dan lain sebagainya.

Adalah julukan dan predikat sebagai muslim merupakan penghormatan dan kemuliaan dari Allah Sang Pencipta Alam yang langsung menamakan orang-orang yang beriman dengan julukan tersebut. Lalu, apakah yang membuat orang-orang enggan menampakkannya? Mungkin yang paling menonjol adalah timbulnya pandangan di kalangan muslimin bahwa dunia itu segalanya, dan orang yang memiliki kedudukan, harta di dunia memiliki kemuliaan di atas mereka, sehingga menimbulkan rasa rendah diri di hadapan kemewahan dunia. Seharusnya sebagai muslim kita justru harus bahagia dan gembira. Sebab, jika kita tidak dapat dunia, masih ada akhirat, sedangkan orang-orang kafir, walaupun dapat dunia, tetapi tidak dapat apa-apa di akhirat.

Renungkanlah firman Allah SWT yang artinya, "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah segala yang mereka usahakan di dunia serta sia-sialah segala yang telah mereka kerjakan." (Huud: 16).

Sebagai muslim kita harus bangga menampilkan diri dalam warna keislaman dari segala segi kehidupan dengan segala corak dan warnanya. Bukankah agama kita, Islam, merupakan agama yang sempurna? Di dalamnya terdapat segala aturan dan bimbingan untuk segala bidang kehidupan. Dari hal yang kecil, seperti buang air dan meludah, kita sudah dibimbing dan diarahkan untuk tampil sebagai muslim yang berbeda dari orang-orang kafir, apalagi dalam perkara yang lebih besar. Jikalau seseorang mengamati ajaran Islam, niscaya ia akan mendapatkan bahwa Islam memberikan pemeluknya identitas dan jati diri yang jelas, agar dengan mengetahui dan menyadari hakikat dirinya, ia dapat menempuh kehidupan dunia ini dengan baik dan selamat. Suatu hal yang tidak akan pernah ditemukan pada agama lain.

Kita tidak boleh ragu mengatakan bahwa kita muslim dan Islam adalah agama yang lurus dan benar. Jangan termakan hasutan orang-orang pluralisme agama. Karena, hal sebenarnya bagi orang-orang yang bingung tidak tahu mau ke mana.

Renungkan dan camkanlah firman Allah SWT yang artinya, "Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata: 'Sesungghnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslimin)'." (Fushshilat: 33).

Dalam banyak hal kaum muslimin selalu jadi bahan tertawaan dan cemoohan dari orang-orang yang banyak berdosa. Kesabaran adalah senjata pemusnahnya, karena memang itulah tabiat mereka, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang beriman lewat di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya mereka dalam keadaan senang (karena telah mengejek orang-orang beriman). Dan apabila mereka melihat orang-orang beriman, mereka berkata: "Sesungguhnya mereka ini benar-benar orang yang sesat. Padahal, mereka tidak diutus untuk menjadi penjaga bagi orang-orang beriman. Maka pada hari ini, orang-orang yang berimanlah yang menertawakan orang-orang kafir, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (Al-Muthaffifiin: 29 -- 36).

Biarkanlah mereka begitu, dan janganlah kita merasa rendah diri di hadapan mereka. Persiapkanlah bekal untuk menjadi orang yang menertawakan mereka di akhirat nanti dengan bertakwa kepada Allah. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang selamat dan akan berbalik menertawakan mereka orang-orang kafir kelak di akhirat yang di dunia ini kita ditertawakan, docemooh, dihinakan dan diinjak-injak martabatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Dakwah Politik Antara Pragmatisme Dan Profesionalisme

Posted by Dewa Mahendra Center on Senin, 18 Januari 2010 , under | komentar (0)



Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah. Semoga karunia dan keselamatan senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW.

Diwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Kenabian berada di tengah Anda selama yang dikehendaki Allah, kemudian Allah mengangkat kenabian itu manakala Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian berlaku kekhalifahan sesuai manhaj kenabian dan ia ada selama yang dikehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian muncul raja-raja yang menggigit selama yang dikehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian muncul raja-raja yang diktator selama yang dikehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian muncul kekhalifahan menurut jalan kenabian.” Kemudian beliau diam.”

Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Kiamat tidak terjadi sebelum umat Islam memerangi umat Yahudi. Umat Islam membunuh mereka hingga orang-orang Yahudi bersembunyi di belakang batu dan pohon, lalu batu dan pohon itu berkata, ‘Hai muslim, hai hamba Allah, ini ada orang yahudi di belakangku. Kemarilah, lalu bunuhlah ia.’ Kecuali pohon Gharqad, karena ia termasuk pohonnya Yahudi.”

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW sabda, “Yang tersisa dari kalian akan memerangi Dajjal di sungai Yordania. Kalian berada di timur dan mereka di barat.” Ibnu Dharim, perawi hadits ini berkata, “Saya tidak tahu dimana Yordania pada waktu tiu.”

Jelas bahwa kembali kepada Islam merupakan hal yang dipastikan Allah dan Nabi-Nya SAW pun telah mengabarkannya. Secara sederhana, kembalinya umat kepada Islam itu dimulai dari keberadaan individu muslim yang komitmen terhadap agamanya, kemudian keluarga muslim, kemudian masyarakat muslim dan daulah muslim dan yang terkahir adalah umat muslim sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran [3]: 110) Kalian menjadi saksi atas mereka, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah.

Kira sekarang berada di era raja-raja diktator sejak Ataturk melakukan kudeta terhadap kekhalifahan Utsmaniyyah pada permulaan abad 20. Selama satu abad ini umat Isalm diperintah secara paksa dengan tank, mortar dan roket. Militer menguasai para ulama, pemikir, da’i dan pemimpin sosial. Militer bertindak layaknya Fir’aun, hingga menjadikan bangsa mereka sebagai sapi perahan bagi diri mereka sendiri, para algojo mereka dan anak-anak mereka. Mereka menjadikan bangsa mereka sendiri sebagai pelayan bagi mereka dan tuan-tuan mereka, yaitu musuh-musuh umat Islam yang memupuk subur dan mendukung diktatorisme ini, meskipun Barat mengklaim sebagai penanggungjawab atas demokrasi dan hak asasi manusia.

Para penguasa yang diktator itu telah menanamkan sifat rendah dan hina di hati umat Islam, hingga bangsa Israel berlaku sewenang-wenang dan merampas kiblat pertama dan tanah haram ketiga bagi umat Islam dan mengusir penduduknya yang Arab-muslim. Orang-orang Yahudi berkumpul dari segenap penjuru dunia untuk bercokol di Palestina, jantung dunia Islam, untuk merelasikan janji Allah dan Rasul-Nya dan agar nantinya umat Islam memerangi dan mengalahkan mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits shahih dan barangkali hal tersebut sudah dekat masanya.

Bagaimana mungkin umat Islam mengalahkan Yahudi, sedangkan Yahudi hari ini menguasai dunia? Kemenangan itu tidak mungkin terjadi kecuali umat Islam kembali kepada Islam mereka, mengimplementasikannya dalam kehidupan mereka dan menjadikan syari‘at Allah sebagai hukum yang berlaku bagi hamba-hamba Allah di manapun mereka berada. Pada saat itulah umat Islam kembali menjadi umat terkuat yang pernah dikenal sejarah—sebagaimana dahulu kala—dan akan mengalahkan Yahudi.

Ketika hukum yang berlaku kembali seperti yang dijanjikan Rasulullah SAW, yaitu “kekhalifahan menurut jalan kenabian,” maka rezim diktator tersebut akan berakhir dan sistem pemerintahan kembali kepada sistem syura—sebagaimana yang terjadi pada masa kenabian dan Khulafa’ Rasyidun. Dalam perjalanan umat Isalm kepada sistem syura itu, mereka akan melewati sistem demokrasi sebagai fase transisi menuju sistem syura—Allah Mahatahu. Nilai kebaikan yang besar dalam sistem demokrasi yang hakiki adalah penghargaan terhadap keinginan bangsa dan ketika keinginan bangsa kita dihormati, maka mereka tidak akan menerima sebuah alternatif dari Islam. Tentu saja setelah pendidikan politik menyentuh semua lapisan masyarakat dan mereka meyakini bahwa politik adalah bagian dari fondasi Islam.

Sebagian negara Islam seperti Indonesia, Malaysia, Aljazaid, Turki dan selainnya telah mulai menggeliat dari cengkraman pemerintahan diktator dan bergerak menuju iklim kebebasan setelah seabad lebih berada di bawah pemerintahan yang diktator. Banyak penguasa yang memahami hal itu, sehingga mau menuruti sebagian keinginan rakyat mereka. Mereka pura-pura berdemokrasi di hadapan mereka, sesudah dunia internet telah menghapus sekat-sekat ruang bagi warna dunia dan setelah masyarakat di negara-negara yang diktator itu bisa mendengar apa yang terjadi di dunia pada hari tu juga. Mayoritas negara di dunai para hari ini menerapkan sistem demokrasi, sehingga para penguasa yang diktator itu pun memakai kedok demokrasi.

Banyak negara yang berafiliasi kepada Islam pada hari ini mulai mengikuti sistem demokrasi formalistik, agar tampak bahwa mereka itu bukan diktator. Banyak diselenggarakan pemili di negara-negara Islam, dimana pemilu merupakan simbol demokrasi. Biasanya, warga muslim diundang untuk mengikuti pemilu, tetapi ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya; apakah ia berpartisipasi dalam pemilu, atau memboikotnya? Apabila ia ikut pemilu, maka siapa yang akan dipilihnya? Mengapa ia memilih si A bukan si B? Ada banyak lagi pertanyaan yang diajukan kepada setiap warna muslim, namun ia tidak memperoleh jawabannya. Para ulama yang enggan mengajari warga muslim mengenai hukum pemilu. Bahkan mereka tidak mau mendekatinya karena pemilu adalah politik dan politik itu haram bagi mereka, halal bagi orang-orang sekuler. Umat Islam terlantar sehingga tidak mengetahui halal dan haram dalam perkara pemilu. Masing-masing bertindak sesuai seleranya, atau kepentingan duniawinya, atau sesuai instruksi keluarga atau partainya.

Harakah Islamiyyah merupakan pergerakan reformis. Ia ingin memperbaiki keadaan umat Islam dan menerapkan syari‘at Islam dalam kehidupan mereka. Karena itu, harakah Islamiyyah melihat sejak awal abad 20 melihat bahwa parlemen merupakan mimbar yang tepat untuk menyerupakan reformasi bagi umat Islam dan penerapan syari‘at Islam. Dan pada kurun-kurun terakhir dari abad 20, terlihat jelas bahwa perjuangan politik dan informasi merupakan sarana yang legal dan tersedia bagi harakah Islamiyyah. Karena itu, harakah Islamiyyah menuntut sistem demokrasi yang mengharuskan memperkenankan seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan perjuangan politik, informasi dan pendidikan. Dengan demikian, harakah Islamiyyah berusaha untuk mencapai tujuan yang telah digariskan, yaitu memperbaiki kondisi umat Islam dan menerapkan syari‘at Islam dalam kehidupan mereka.

Ada banyak harakah Islamiyyah yang duduk di parlemen-parlemen melalui pemilu sejak tahun 50-an di beberapa negara. Misalnya adalah Suria, Mesir, Yordania, Turki, Kuwait, Pakistan, Malaysia, Aljazaid, Sudan, Yaman dan lain-lain, serta berpartisipasi dalam berbagai pemilihan legislatif.

Karena itu, saya melihat bahwa di antara kewajiban terpenting bagi peneliti muslim pada hari ini adalah menjelaskan kepada umat Islam tentang hukum pemilu dalam Islam, kapan seorang muslim boleh terlibat di dalamnya dan kapan tidak boleh, serta bagaimana cara ia terlibat di dalamnya. Juga mengingatkan kepada umat Islam bahwa pemilu merupakan amanah yang harus diberikan kepada yang berhak, kesaksian yang harus dikemukakan sesuai caranya yang syar‘i, pernyataan loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, serta pernyataan disloyalitas terhadap musuh-musuh Allah, orang-orang munafik dan kaum sekuler.

Inilah alasan kami menulis kajian ini yang diuraikan dalam mukadimah ini, lima pasal dan penutup. Pada pasal pertama kami berusaha menegaskan kepada umat Islam bahwa politik merupakan bagian dari agama Islam. Pada pasal kedua, kami mengupas pemilu antara demokrasi dan syura. Pada pasal ketiga kami menjelaskan bahwa pemilu adalah amanah dan Allah memerintahkan kita untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak. Pada pasal keempat kami menjelaskan bahwa pemilu merupakan kesaksian dan saya mengingatkan kepada umat Islam agar tidak bersaksi palsu. Pada pasal kelima saya jelaskan bahwa pemilu itu merupakan sarana ekspresi loyalitas dan disloyalitas; ia terkait dengan akidah. Kemudian kajian ini ditutup dengan rangkuman dan pesan-pesan. Hanya kepada Allah saya memohon semoga Dia mengilhamkan kebenaran padaku dan menjauhkanku dari kesalahan, menerima amalku pada hari ketika harta, kedudukan dan keturunan tidak berguna dan semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku serta melipat-gandakan pahala bagi keduanya. Karena keduanya-lah yang menyekolahkanku dalam kondisi yang serba berkekurangan dan sesudah saya belajar di rumah. Kedua-lah yang mengajariku membaca dan menulis. Ibuku—semoga Allah merahmatinya—berusah payah untuk melakukannya. Ya Allah, ampunilah setiap orang yang mengajariku dan menunjukkan kepadaku jalan Islam, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan Doa.

Khalid Ahmad asy-Syantut Medio Rabi’ul Awwal, Cet. I

Setelah cetakan pertama terbit, beberapa saudaraku yang mulia mengkritik sikapku terhadap memilih perempuan karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi. Karena itu, dalam cetakan ini saya melakukan koreksi dan menambahkan apa yang pada zaman kita ini diistilahkan dengan “fikih realitas”. Maksud saya, harakah Islamiyyah menempuh jalur pemilu dengan kapabilitas yang bisa mengantarnya menuju parlemen dan darinya harakah Islamiyyah dapat berusaha mengimplementasikan syari‘at Islam di negara-negara umat Islam. Karena itu, saya berharap dapat menyinggung fiqih ushul ketika harakah Islamiyyah membuat undang-undang pemilu dan fiqih realitas ketika harakah Islamiyyah mengikuti pemilu sesuai undang-undang yang dibuat orang lain.

Saya juga berharap bisa memberi tekanan apa yang saya maksud dari kesaksian dan itulah yang menjadi penyebab perbedaan antara lak dan perempuan dalam pemilu. Seorang laki-laki bisa berinteraksi secara intens dengan laki-laki lain dan mengenal mereka, sehingga ia bisa memberi kesaksian terhadap mereka. Sementara bagi perempuan, interaksi yang demikian itu dilarang dalam syari‘at.

Setelah itu semua, saya berharap semoga saudara-saudaraku itu bisa menerima saya dengan lapang dada dan mempersilakan saya untuk mengungkapkan apa yang saya anggap benar—hanya Allah yang Maha Memberi taufiq. Saya memohon kepada Allah semoga memberkahi amal ini dan menulisnya dalam cacatan amal baikku di hari Kiamat.

Segala puji bagi Allah Tuhan Pemilik jagat raya.(Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut
)

Politik Bagian dari Islam

Posted by Dewa Mahendra Center on , under | komentar (0)




Islam tidak eksis dengan individu-individu, melainkan dengan jama‘ah, dan setiap jama‘ah harus memiliki politik. Ad-Darimi meriwayatkan secara mauquf dari ‘Umar bin Khaththab ra bahwa ia berkata, “Islam tidak eksis kecuali dengan jama‘ah, jama‘ah eksis kecuali dengan kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak eksis kecuali dengan ketaatan…” Inilah yang dinamakan politik.

Al-Fanjari (61) mengatakan, “Islam tidak membedakan antara politik dan agama. Allah mengaitkan shalat yang merupakan kewajiban ritual dengan zakat yang merupakan ibadah finansial, dan dengan amar ma’ruf dan nahi munkar yang merupakan aktivitas politik. Allah berfirman, “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj [22]: 41)

Apakah Praktik Politik Fardhu Kifayah?

Ya, aktivitas politik hukumnya fardhu kifayah. Apabila sebagian dari umat ini telah sanggup melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban bagi sebagian yang lain. Dan apabila tidak seorang pun yang menjalankannya, maka semua umat Islam berdoa. Lalu, apa tujuan aktivis politik menurut Islam?

Ketika Rasulullah SAW wafat, maka para sahabat mulia mencurahkan perhatian untuk mengangkat pengganti beliau. Mereka sibuk mengurusi masalah ini hingga menyesampingkan pemakaman Rasulullah SAW. Apa makna di baliknya? Mereka tidak memakankan Rasulullah SAW sampai Abu Bakar ash-Shiddiq dibai’at, kemudian setelah itu barulah Rasulullah SAW dimakamkan. Ath-Thabari meriwayatkan: ‘Amr bin Harits berkata kepada Sa’id bin Zaid, “Apakah kamu menyaksikan peristiwa wafatnya Rasulullah SAW?” Ia menjawab, “Ya.” ‘Amr bertanya, “Kapan Abu Bakar dibaiat?” Sa’id menjawab, “Pada hari Rasulullah SAW wafat. Mereka tidak senang sekiranya mereka tidak dalam keadaan berjama’ah meskipun sebentar saja.”

Dari sini kita memahami bahwa umat Islam tidak boleh berlama-lama dalam keadaan tanpa imam yang memimpin mereka dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kalau tidak, maka mereka semua berdoa (Abdurrahman Abdul Khaliq, 9). Jadi, tujuan dari politik praktis hari ini adalah mengembalikan kekhalifahan Islam, dan ia akan kembali sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah SAW. Karena itu, Syaikh Said Hawwa mengatakan, “Selama hukum Islam belum eksis, maka berpolitik menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Keadaan yang tidak terkendali itu tidak bisa menegakkan hukum. Karena itu, adanya pemerintahan itu hukunya wajib. Setiap sesuatu yang dibutuhkan umat Islam untuk mendirikan pemerintahan yang Islami itu juga hukumnya wajib. Semua ini disebut politik (Jundullah, 397).

Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjari mengatakan bahwa berpolitik itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Hal itu dipahami dari firman Allah, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran [3]: 104)

Ini adalah salah satu penafsiran ayat. Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu bentuk dari aktivitas politik, dan itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Maksudnya, agar kalian semua menjadi umat yang mengajak kepada kebaikan. Seorang muslim tidak bisa lari dari kewajiban ini dengan beruzlah dan bersikap pasif. Setiap muslim wajib memerhatikan urusan-urusan umat Islam dan persoalan-persoalan politik mereka. Ia harus memelajari problematika mereka dengan berbagai macam sebab dan jenisnya. Setiap orang yang berusaha untuk menyendiri dan lari dari permasalah-masalahan umat Islam, dengan berdalih konsentrasi ibadah dan agama saja, maka dia itulah yang disebut mendustakan agama. Ini adalah cara beragama palsu yang ditentang Islam. Saat menafsirkan ayat tentang orang yang mendustakan agama, Sayyiq Quthub mengatakan, “Agama ini bukan eksterior dan ritual semata. Ia tidak disebut agama selama tidak melahirkan dampak dalam hati yang mendorong untuk melakukan amal shalih dan termanisfestasi dalam perilaku-perilaku yang membuat kehidupan manusia di bumi ini menjadi baik dan maju. Begitu pula, agama ini bukan terdiri dari bagian-bagian yang terpisah-pisah, dimana seseorang bisa mengerjakan bagian yang ingin dikerjakannya dan meninggalkan bagian yang ingin ditinggalkannya. Agama ini adalah manhaj yang komplementer, dimana ibadah dan ritualnya, serta tugas-tugas individual dan sosial bantu-membantu.”

Mengapa Umat Islam Mengabaikan Politik?

Ilmu Kalam (theologi) berkembang luas di kalangan umat Islam pada masa dinasti Umawiyah dan ‘Abbasiyah. Saat itu pemikiran-pemikiran yang mengecilkan urgensi kepemimpinan dikedepankan, sebagaimana yang dikatakan kelompok Mu’tazilah, “Kepemimpin itu wajib berdasarkan logika, bukan berdasarkan syariat.” An-Nawawi membantah pernyataan mereka dengan mengatakan bahwa para ulama menyepakati kewajiban mengangkat seorang khalifah, dan kewajibannya itu berdasarkan syari‘at bukan akal. Pendapat yang dikutip dari seorang penganut paham Mu’tazilah yang bernama al-Asham bahwa kepemimpinan itu hukumnya tidak wajib, dan dari penganut paham Mu’tazilah lain bahwa kewajibannya berdasarkan logika, bukan berdasarkan syari‘at, merupakan pernyataan yang keliru.”

Di antara faktor-faktor yang ikut andil dalam menjauhkan umat Islam dari politik adalah sebagai berikut:

Raja yang Menggigit

Maksudnya adalah ketika penguasa meninggalkan al-Qur’an, sehingga memusatkan perhatiannya pada fikih dan membatasinya pada fikih ibadah ritual, ditambah dengan mu’amalah. Mereka menghindari fiqih siyasah kecuali dalam kasus-kasus yang jarang (seperti al-Mawardi, al-Juwaini dan al-Fara’—semoga Allah merahmati mereka). Karena pembicaraan mereka tentang politik itu akan membuat para penguasa marah. Diwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa ia berkata, “Sungguh, buhul Islam itu akan terurai seutas demi seutas. Setiap kali seutas tali terurai, maka manusia bersiap-siap untuk mengurai tali sesudahnya. Tali yang pertama kali terurai adalah pemerintahan, dan tali yang terakhir terurai adalah shalat.”

Nah, penguasa yang menggigit itu telah menggugurkan prinsip pemerintahan yang Islami, yaitu syura dan baiat. Para ulama bersikap diam sebagai bentuk ijtihad mereka. Menurut mereka, diamnya mereka itu lebih kecil mudharatnya daripada berbicara tentang politik. Pemikiran al-Irja’i dan ath-Thurqi (sufi radikal) sangat dominan, yaitu untuk menjauhi kehidupan sosial. Kehidupan asketik semacam ini masih dipraktikkan oleh banyak umat Islam hingga hari ini.

Raja yang Diktator

Di awal abad 20 masehi terjadi kudeta militer di sebagian besar wilayah dunia Islam. Militer menguasai bangsa-bangsa Islam, memasung kebebasan dan membungkam hak bicara. Pada ulama, pemikir dan dai terbatasi geraknya. Semua itu terjadi akibat rencana dan dukungan zionis dan salib internasional.

Amerika yang mengklaim sebagai pembela hak asasi manusia itu mendukung diktator-dikator yang mencekik dan menindas bangsanya sendiri, sering kali secara rahasia, dan sesekali secara terang-terangan. Para diktator itulah yang merealasikan keinginan zionis dan salib internasional, yaitu agar bangsa-bangsa tersebut tetap dalam keadaan tertinggal dengan berbagai bentuknya. Dan pada gilirannya, negara-negara tersebut tetap menjadi pasar dimana mereka menjual sumber daya alam—termasuk minyak—kepada Amerika dengan harta yang ditetapkan Amerika. Dan agar negara-negara tersebut menitipkan dana mereka yang berlimpah di Amerika sehingga bisa dimanfaatkan oleh bank-bank Amerika. Bahkan ada seorang diktator yang tega membakar sejumlah ulama di satu tempat. Demikianlah yang dilakukan orang-orang komunis di Kabul. Para ulama, pemikir dan dai dijebloskan ke dalam penjara. Mereka menghadapi berbagai bentuk penyiksaan dan penghinaan.

Ada pula ribuan ulama yang terusir dari negaranya dan menjalani sebagian besar hidupnya secara terasing dan jauh dari tanah airnya. Dengan demikian, para diktator telah menghabisi setiap orang yang punya sedikit saja perhatian tentang politik dan kehidupan sosial. Para diktator itu menyarankan ulama lain untuk menjauhi mereka, dan mendorong umat Islam untuk menjauhi politik dan bekerjasama dengan pihak lain.

Machiavellisme

Dari faktor yang menjauhkan umat Islam dari politik adalah pemahaman keliru tentang politik dicekokkan Machiavelli ke dalam otak manusia, yaitu bahwa politik itu sarat kebohongan, muslihat dan intrik, dan tujuan menghalalkan segala cara. Hal tersebut membantu menjauhkan ulama Islam dari politik. Paham ini didukung dengan paham tentang pemisahan antara agama dan negara di Barat. Ini adalah paham yang sangat berbahaya, karena merupakan salah satu bentuk pemahaman parsial terhadap Islam.

Lalu muncul kebangkitan Islam dan tersebar pemahaman yang benar tentang Islam sesuai yang diturunkan Allah di dalam Kitab dan diajarkan Rasul SAW kepada para sahabat beliau sesuai Sunnah beliau yang mulia. Islam sebagai sistem yang meliputi agama dan duniawi, agama dan negara. Umat Islam menjadi pelajar politik, dan mereka tahu bahwa politik Islam itu berbeda dengan Machiavellisme, sebagaimana ekonomi Islam berbeda dengan sosialisme dan kapitalisme. Karena politik Islam adalah politik etis yang berpijak pada prinsip, bukan pada kepentingan, sebagaimana telah saya jelaskan dalam buku saya yang berjudul at-Tarbiyyah as-Siyasiyyah fil-Muj’ama' al-Islami (Pendidikan Politik di Tengah Masyarakat Islam). Aksioma ini telah tersebar dalam skala luas di kalangan umat Islam pada hari ini, sehingga mereka menuntut penerapan syari‘at Islam dalam kehidupan mereka, dan cara terbaik yang dapat mereka tempuh adalah melalui parlemen dan demokrasi sebagai sebuah sistem dunia hari ini yang mengajarkan bahwa bangsa dengan segenap kebebasannya bisa memilih sistem yang diinginkannya. Dan ketika umat Islam disuruh memilih, maka mereka tidak akan memilih selain Islam, dan mereka tidak akan mau menerima penggantinya.

Pemilu merupakan karakter utama demokrasi, hingga demokrasi didefinisikan sebagai sistem dimana suatu bangsa menentukan pemerintahnya dengan jalan pemilu. (al-Anshari, 385).

Pendidikan Politik

Pendidikan politik berarti menyiapkan individu muslim agar menjadi warga yang baik di tengah masyarakat muslim, mengetahui kewajiban-kewajibannya lalu menjalankannya dengan kesadaran demi mengharapkan ridha Allah, sebelum menuntut hak-haknya, sebagaimana ia mengetahui hak-hanya lalu berusaha untuk memperolehnya dengan cara-cara yang disyari’atkan.

Pendidikan politik merupakan bagian fondamen dari pendidikan Islam, karena pendidikan Islam merupakan pendidikan yang meliputi individu dan masyarakat. Pendidikan politik para hari ini hukumnya wajib, demi menyiapkan elemen-elemen yang baik bagi terbentuknya masyarakat muslim. Pendidikan politik merupakan pilar utama di antara pilar-pilar pendidikan Islam, karena pendidikan Islam itu meliputi pendidikan spiritual, pendidikan intelektual, pendidikan fisik, pendidikan emosi, pendidikan sosial, pendidikan militer, pendidikan ekonomi, dan lain-lain. Islam adalah agama untuk individu dan masyarakat, dan masyarakat Islam tidak bisa eksis tanpa politik yang Islami. Jadi, pendidikan politik itu menyiapkan warganegara untuk menjalankan urusan-urusan umum dalam lapangan kehidupan, dan membekali mereka agar bisa menjalankan kewajiban-kewajiban mereka, mempertahankan hak-hak mereka. Pendidikan politik dimulai sejak usia dini dan berlangsung sepanjang hidup. (Utsman Abdul Mu’iz, 13)

Semua lembaga pendidikan dalam masyarakat, seperti keluarga, sekolah, forum, media informasi baik cetak maupun elektronik, perguruan tinggi dan perpustakaan umum, harus ambil bagian dalam menyiapkan warga negara muslim secara politis agar tercipta masyarakat muslim.

Di antara ujian yang dihadapi umat Islam hari ini adalah ketakutan mereka terhadap politik, serta jauhnya para ulama dan dai dari ranah politik setelah Machiavelli mendistorsi pemahamannya, dan sesudah kelompok sekuler, anti agama dan musuh-musuh umat Islam itu mengambil kendali politik. Mereka pun melihat negara-negara yang hancur akibat pertikaian di antara partai-partai politik di dalamnya, seperti yang terjadi di Lebanon dua dasawarsa ketujuh dan kedelapan dari abad dua puluh. Mereka mengira bahwa setiap negara akan berani berpolitik itu akan mengalami seperti apa yang dialami Lebanon. Hal ini jauh dari kebenaran. Apa yang terjadi di Lebanon itu karena masyarakat Lebanon tidak memahami politik. Bangsa tersebut dan bangsa-bangsa lain tidak memperoleh pendidikan politik yang menyiapkan warna muslim untuk mendahulukan kewajiban-kewajibannya terhadap masyarakat sebagai bentuk ketaatan terhadap Allah dan mengharapkan ridha-Nya, sebagaimana ia menuntut hak-haknya dengan cara-cara yang disyariatkan.

Konflik antar partai dengan menggunakan senjata merupakan bukti yang kuat akan ketidak-tahuan penduduk negeri tersebut tentang perpolitikan. Karena politik itu bukan militer, tetapi aksi militer itu bermula ketika aktivitas politik gagal. Ketika kita mendapati sebuah konflik bersenjata di suatu negara, maka itu merupakan bukti yang jelas akan kemunduran penduduk negeri tersebut dalam aktivitas politik, dan kebutuhan mereka yang mendesak terhadap pendidikan politik.

Tidak diragukan bahwa negara-negara Eropa Barat khususnya dan Amerika Utara maju dalam bidang politik. Karena itu, kita belum pernah mendengar konflik bersenjata yang berarti di Eropa Barat atau Amerika Utara. Karena pemilihan umum, multi partai, pergantian rezim dan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan telah menjadi aksioma yang mengakar kuat di tengan masyarakatnya.

SARASEHAN BINCANG-BINCANG TOKOH

Posted by Dewa Mahendra Center on Rabu, 16 Desember 2009 , under | komentar (0)




Tema : Urgensi Merencanakan Hidup Mengelola Masa Depan ( MHMD)
Dalam Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 Sebagai Pembentukan Karakter bangsa

Pembicara :
- MARWAH DAUD IBRAHIM ( http://www.marwahdaud.com/ )
( Trainer MHMD )

- EMHA AINUN NADJIB (http://www.padhangmbulan.com/ )
( BUDAYAWAN, SENIMAN )

Tanggal: 22 Desember 2009
Waktu: 15:00 - 18:00
Tempat: KMFH UGM
Fee nya di turunkan harga menjadi Rp. 5.000,-
Saksikan Juga :
- Aksi Teatrikal Sanggar "APAKAH"
- NASYID

CARA REGISTRASI LEWAT SMS :
KETIK NAMA_ASAL UNIVERSITAS_FAKULTAS KIRIM KE 081994855778
ATAU DAFTAR MELALUI GROUP FB INI.
CP : 081994855778

hehhee...

Wavy Photo Effects