Ya Allah Berilah Hamba Selalu Petunjuk dalam mengarungi Medan Juang Ini !! * Dewa Mahendra
Latest News

SELAMAT DATANG DI DEWA MAHENDRA CENTER

semoga info bermanfaat

तुगास हुकुम PERDATA

Minggu, 13 Desember 2009 , Posted by Dewa Mahendra Center at 01.54

MASALAH DAN PENYELESAIANNYA
1. Apakah perusahaan mempunyai hak dan kewenangan lebih terhdap perjanjian yang telah dibuat dengan karywan dan Calon karywan dan dibisakah pada waktu tertentu perusahaan melakukan hal yang tidak tertera dalam perjanjian ,adakah dasar hukumnya ?
Perjanjian kerja merupakan salah satu dari perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1601 KUHPerdata. Sebagai perjanjian yang mempunyai ciri-ciri khusus (yakni mengenai perburuhan), pada prinsipnya perjanjian kerja juga merupakan perjanjian sehingga sepanjang mengenai ketentuan yang sifatnya umum, terhadap perjanjian kerja berlaku ketentuan umum. Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang memaksa (dwang contract) karena para pihak tidak dapat menentukan sendiri keinginannya dalam perjanjian sebagaimana layaknya dalam hukum perikatan dikenal dengan istilah “kebebasan berkontrak” yang tercantum dalam pasal 1338 KUHPerdata. Dengan adanya perjanjian kerja, para pihak yang mengadakan perjanjian mempunyai hubungan hukum yang disebut hubungan kerja, dan sejak itulah terhadap mereka yang mengadakan perjanjian kerja berlaku hukum perburuhan. Akan tetapi hal ini bukan berarti tidak dapat dibuat suatu kesepakatan lain antara pengusaha dengan buruhnya yang kemudian dapat dituangkan dalam perjanjian kerja tersebut. Asas kebebasan berkontrak tetap dapat berlaku sejauh mana tidak bertentangan dengan kaidah heteronom dalam hukum perburuhan, dengan kata lain tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dalam bidang perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Unsur-unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian kerja yang ditentukan dalam peraturan perundangan (kaidah heteronom) antara lain:
1. adanya pekerjaan, yaitu prestasi yang harus dilakukan sendiri oleh pihak penerima kerja, dan tidak boleh dialihkan kepada pihak lain (bersifat individual);
2. adanya unsur di bawah perintah, dimana dengan adanya hubungan kerja yang terbentuk, tercipta pula hubungan subordinasi antara pihak pemberi kerja dengan pihak penerima kerja;
3. adanya upah tertentu, yaitu merupakan imbalan dari pekerjaan yang dilakukan oleh pihak penerima kerja yang dapat berbentuk uang atau bukan uang (in natura)
4. adanya waktu, yaitu adanya suatu waktu untuk melakukan pekerjaan dimaksud atau lamanya pekerja melakukan pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja. Selain dari keharusan adanya unsur-unsur di atas, dimungkinkan untuk dilakukannya perjanjian lain berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak mengenai hal-hal lain yang dipandang perlu selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam berbagai peraturan perundangan di bidang perburuhan tidak ada ketentuan yang melarang adanya perjanjian untuk menjaga kerahasiaan suatu informasi yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa dengan adanya kesepakatan antara pengusaha dan buruhnya yang menimbulkan kewajiban bagi buruhnya untuk menjaga kerahasiaan informasi perusahaan tempat ia bekerja (rahasia dagang perusahaannya) tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan dapat dilakukan oleh pengusaha dalam rangka melindungi informasinya yang berharga.
Jadi perusahan tidak bisa melakukan hal yang tidak tertera dalm peraturan. Karena tertera dalm peraturan perusahan sebelum habis masa berlakunya hanya dapat diubah atas dasar kesepakatan perusahaan atau pengusaha atau majikan dan wakil pekerja dan perubahan peraturan perusahaan ini harus mendapat pengesahan dari mentri ketenaga kerjaan atau pejabat yang ditunjuk ( pasal 114 UU NO 13 tahun 2003). Karena kewenangan yang dimiliki oleh perusahaan harus sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat dan yang telah disepakati.

2. Bagaimana penyelesaian sengketa terhadap karywan yang melanggar perjanjian, & apakah dalam penyelesainya dapat di wakilkan? Jika dapat apa dasar hukumnya dan jika tidak mengapa ?
Apabila terjadi persengketaan yang dilakukan karywan pada umumnya dilakukan penyelesaian secara internal oleh perusahaan dimana sudah dimuat dalam perturan perusahaan yang disepakati dengan karyawannya. Namun jika pelanggarannya sudah menyangkut tindak pidana maka dapat di selesaikan melalui jalur pengadilan. Sedangkan penyelesaiannya dapat diwakilkan melalui kuasa hukumnya atau lawyer. Menurut pasal 123 ayat (1) HIR, Pemberian Kuasa yang secara khusus diperuntukan mewakili Penggugat atau Tergugat dalam suatu sidang pengadilan dapat diberikan baik secara lisan, dalam surat gugatan, maupun dengan surat kuasa khusus. Macam-macam Pemberian Kuasa tersebut dilakukan dengan ketentuan:
1. Kuasa Secara Lisan
Apabila seseorang tidak dapat membaca dan/atau menulis, maka terhadap orang tersebut dibolehkan mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua pengadilan Negeri, demikian menurut pasal 120 HIR/144 Rbg. Atas pengajuan gugatan secara lisan itu Ketua Pengadilan Negeri kemudian akan mencatat atau menyuruh mencatat gugatannya. Apabila Penggugat mengehedaki memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya berperkara dalam persidangan, maka Ketua Pengadilan Negeri juga akan akan mencatat maksud Pemberian Kuasa dalam gugatan lisan yang diajukan. Terhadap gugatan yang sedang berlangung di pengadilan, para pihak Penggugat dan Tergugat juga dapat memberikan kuasa secara lisan kepada orang lain. Pemberian kuasa itu dilakukan dengan kata-kata tegas (Expressis Verbis), dan majelis kemudian memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara siding.
2. Kuasa yang Ditunjuk Dalam Surat Gugatan
Menurut pasal 118 HIR (142 Rbg), gugatan dapat diajukan secara tertulis. Jika dikaitkan dengan pasal 123 HIR (147 Rbg), maka dalam gugatan tertulis itu Penggugat dapat langsung menunjuk pihak lain sebagai Penerima Kuasa yang akan mewakili dirinya dalam persidangan. Secara hukum hal tersebut memenuhi syarat formil dan sah. Namun dalam praktek, pengangkatan kuasa melalui surat gugatan itu harus didasarkan pada surat kuasa khusus, yang menurut hukum sebenarnya bukan merupakan syarat.
3. Surat Kuasa Khusus
Pasal 123 ayat (1) HIR tidak merinci lebih lanjut bagaimana surat kuasa khusus harus dibuat. Pasal tersebut hanya mensyaratkan bahwa kuasa khusus harus dibuat secara tertulis (In writing). Hal ini berarti, dengan mengatakan dalam surat tersebut untuk “memberikan kuasa untuk menghadap di semua pengadilan” adalah sudah cukup sebagai surat kuasa khusus. Namun, untuk dapat benar-benar membedakannya dengan surat kuasa umum, maka sistem peradilan di Indonesia telah memperbaikinya dengan beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
3. Apa syarat –syarat sah Kontrak ?
Syarat syah perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer yaitu :
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita.
Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi laki-laki, 16 th bagi wanita. Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
c. Adanya Obyek.
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
d. Adanya kausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Syarat subyektif ( a dan b) yaitu apabila syarat 1 dan 2 tidak dipenuhi maka, dapat diminta pembatalan. Syarat obyektif ( c dan d ) merupakan bagian dari isi perjanjian dan apabila tidak dipenuhi dalam penguatan perjanjian maka batal demi hokum. Artinya perjanjian tersebut tanpa diminta pembatalan oleh hakim tetap sudah batal dengan sendirinya atau dengan kata lain perjanjian tersebut tidak terjadi.

4. Apakah pemutusan perjanjian bisa dilakukan oleh satu pihak yang merasa dirugikan? Jelaskan !
Pasal 151 UU Ketenagakerjaan menyatakan sebagai berikut : (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benarbenar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 151 di atas, jelas dan tegas dalam hal terjadinya PHK, karyawan memiliki hak untuk mendengar alasan perusahaan dalam PHK tersebut dan didengarkan alasan-alasan si karyawan untuk itulah kedua belah pihak membicarakan terlebih dahulu tentang pemutusan hubungan kerja dimaksud. Kalaupun Perusahaan tidak puas dengan kinerja anda dan ingin menyampingkan ketentuan adanya perundingan dengan pekerja tentang PHK, maka yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah melakukan skorsing terhadap si karyawan tersebut. Bukan langsung PHK. Kembali pada PHK tanpa perundingan yang dialami anda, sesungguhnya PHK tersebut batal demi hukum. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 170 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, "Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
5. Bagaimana Seharusnya suami dalam menafkahi seorang istrinya secara meteril?
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 3 dan pasal 34 ayat 1,3 :
Pasal 31 : (1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 34 : (1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar

hehhee...

Wavy Photo Effects